Minggu, 10 November 2013

Joko Widodo




 
Joko Widodo lahir di Solo, 21 Juni 1961. Adalah anak pertama dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi.

Pendidikan dari SD sampai SMA dihabiskan di kota Solo. Kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) hingga lulus pada tahun 1985. Setelah lulus kuliah, ia merantau ke Aceh dan bekerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama 2 tahun. Namun kemudian kembali ke Solo, kota kelahirannya dan memilih bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkayuan. Setelah cukup pengalaman, pada tahun 1998 ia memutuskan menjadi pengusaha di bidang mebel. Ia memulai usaha dari minus, bukan dari nol. Pelan-pelan merintisnya, paling tidak produksi yang telah dihasilkan dapat diekspor. Sampai akhirnya, usahanya maju. Mampu mengekspor mebel ke beberapa negara Eropa.

Suatu kali seorang pembelinya di Prancis mengaku kebingungan mengenali nama Joko yang tidak hanya seorang. Untuk memudahkan mengenalnya, si pembeli itu memanggilnya Jokowi. Inilah asal mula muncul penamaan Jokowi yang populer pada sekarang ini daripada nama resminya, Joko Widodo.

Setelah tiga tahun merintis usaha di bidang mebel, barulah bisa ekspor. Ini merupakan sebuah lompatan besar yang tidak mudah. Pada saat kegiatan ekspor itu mulai bisa berkembang, tiba-tiba pada tahun 2005 didorong-dorong untuk mengikuti Pilkada Walikota Solo. Dengan terpaksa, ia ikut tanpa memasang target dan tanpa semangat. Tapi ternyata, ia terpilih menjadi Walikota Solo sungguhan. Ia menganggap ini seperti sebuah kecelakaan. Ia tak percaya semua itu bisa terjadi dan berpihak pada dirinya. Akan tetapi, ia menyadari bahwa ternyata ia tepat dibutuhkan. Jabatan itu tidak bisa diuber-uber, karena Yang Di Atas-lah yang menentukan. Semua orang memiliki waktunya sendiri.

Padahal pada mulanya ia tidak berniat mencalonkan diri menjadi walikota. Perhatiannya kala itu hanya tersita untuk urusan usaha mebel. Sampai suatu ketika, ia merasa prihatin atas perkembangan dan pembangunan kota kelahirannya yang dirasa berhenti di tempat. Ia melihat kotanya tidak semakin baik, melainkan semakin turun dan tidak baik. Hingga ia merasa tergelitik bahwa begitu sulitnyakah mengelola kota. Ia tidak terlalu menyeriusinya, karena merasa tidak terkenal. Tetapi betul-betul sudah terpilih menjadi orang nomor satu di jajaran pemerintahan kota Solo. Dengan demikian, ia segera mendiagnosa berbagai penyakit yang membonsai pertumbuhan kotanya.

Hasilnya, ketika di daerah lain para Pedagang Kaki Lima (PKL) sering dirazia, digusur, bahkan digebuki, di Solo mereka justru diberi tempat mulia. Kalau kondisi pasar tradisional pada 30 tahun sebelumnya dalam kondisi seakan dibiarkan merana, kini semuanya diurus habis-habisan. Masalah kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki jaminan sama sekali, sebelumnya hanya dapat anggaran 1,4 miliar rupiah, sekarang memperoleh anggaran hingga 20 miliar rupiah. Akibatnya, seluruh pembiayaan kesehatan bagi masayarakat tidak mampu, mulai dari cuci darah sampai kemoterapi, semuanya dijamin oleh pemerintahan kota (pemkot). Warga Solo yang sebelumnya mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) selama dua minggu, kini cukup satu jam saja. Masalah perizinan untuk memulai usaha yang sebelumnya memerlukan waktu 4 hingga 6 bulan, sekarang bisa kelar hanya dalam waktu enam hari saja.

Berbagai kemajuan itu membuat kota Solo kini kedatangan banyak tamu. Setiap hari setidaknya ada 4 hingga 6 bus tamu dari berbagai daerah lain yang datang untuk melihat penanganan pelayanan KTP secara langsung. Semua bisa terjadi perubahan atau lompatan besar karena adanya visi, gagasan, serta impian besar.

Padahal aslinya, ia tumbuh dari keluarga miskin yang tinggal di daerah bantaran kali yang kumuh. Membuatnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang peka terhadap penderitaan dan berbagai problematika masyarakat miskin. Terlebih ketika semangat itu berpadu dengan pengalamannya selama 23 tahun bergelut di bidang ekspor, maka lahir berbagai kebijakan populis yang tidak hanya membela dan melindungi kepentingan masyarakat bawah, tetapi juga berhasil menggeser paradigma jajaran pemerintahan kota yang dipimpinnya secara revolusioner.

Gebrakan demi gebrakan dan berbagai terobosan ia ciptakan. Mulai dari sering tidak mau mengambil gaji hingga enggan mengganti mobil dinasnya yang bekas dengan mobil baru. Semakin mengukuhkannya sebagai manusia langka yang tidak hanya dipuja oleh warganya, tetapi membuat warga bangsa mulai jatuh cinta kepadanya.

Motif di balik keengganannya mengambil gaji adalah masih banyak masyarakat yang kesulitan, terutama makan. Meski misalnya mampu ganti mobil setiap tahun, tetap belum pernah ganti mobil dinas. Untuk apa bekerja dengan mobil lama yang sebelas tahun ini bisa, harus diganti dengan mobil yang baru. Apakah dengan mobil yang baru kinerjanya menjadi lebih baik? Paling dengan mobil baru, akan terlihat lebih gagah sedikit. Tetapi ia memilih tidak suka gagah-gagahan.

Ia mengira bahwa masalah pertama adalah tidak adanya leadership (kepepimpinan). Dan yang kedua adalah masalah di sistem manajemennya. Karena ketika ia hidup di ekspor selama 23 tahun, ada tiga hal yang tidak boleh tidak dipenuhi. Yaitu, yang pertama masalah quality (kualitas). Kedua, masalah price (harga), artinya harus selalu efisien sehingga harga bisa kompetitif. Ketiga, on time delivery (ketepatan waktu pengiriman). Ketiga hal ini sangat berpengaruh dalam pengelolaan kepemerintahan dan pengelolaan sebuah kota, khususnya mempengaruhi kebijakan. Sistem recruitment politik kita belum mampu menghasilkan kader-kader yang mempunyai leadership yang baik merupakan pokok problem bangsa kita.

Kemudian pada saat memulai usaha, ia merasa teman-temannya sudah punya modal yang lebih besar. Mereka sudah menjadi luar biasa kaya, dua level di atas dirinya. Ia baru mau memulai. Tetapi ia melihat, dibanding yang lain ia harus memiliki kelebihan. Ia melihat mereka kalau berangkat kerja jam delapan pagi, pulang jam empat sore. Kala itu ia tidak punya uang dan modal. Jadi yang bisa ia lakukan adalah berangkat lebih awal dari mereka. Ia subuh berangkat. Jam setengah enam pagi sudah sampai di tempat kerja. Pulang jam dua belas malam. Kalau ia tidak punya uang dan modal, tetapi berangkatnya sama seperti teman-temannya itu, apa yang bisa ditonjolkan? Tidak ada jawabannya. Jadi kalau mau sukses, kelebihan yang ada diangkat dan ditonjolkan. Seperti itu. Memang capek. Dipikir waktu ia menjadi walikota juga sama capeknya. Kadang kerja sampai tengah malam, hingga pagi. Itu biasa. Dari pagi sampai pagi, itu biasa. Menunggu kontainer sampai jam tiga pagi, jam empat pagi tidur di pabrik.

Jadi kalau sekarang melihat dirinya jam tujuh pagi sudah sampai di kelurahan, jam setengah delapan pagi sudah sampai di kelurahan, dulu lebih dari itu. Sebenarnya maunya jam lima pagi, enam pagi sampai di kelurahan. Ia datang ke kecamatan-kecamatan empat sampai lima kali. Orang-orang menyebutnya sidak. Di pinggir kali ada yang berteriak, “Pak hajar, Pak, hajar.”. Yang dihajar itu apa. Masyarakat itu bilang, di sana pak, di kelurahan sana sama, pak. Ditangani, disidak saja. Ia mengatakan tidak sidak kok. Pagi-pagi dirinya ingin jalan. Hanya kebiasaan saja.

Kebiasaan bangun pagi itu terbentuk karena ia memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Kebiasaan itu terbawa hingga ia menjadi birokrat, Walikota Solo, dan sekarang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ia menyebutkan, banyak hal positif yang bisa diterapkan para birokrat (pegawai negeri sipil) dari sikap para pengusaha. Dan hal itulah yang dilakukannya.

Dengan pola seperti itulah, ia berhasil saat menjadi Walikota Solo. Dan tampaknya pola seperti itu pula yang akan diterapkannya saat kini menjadi Gubernur DKI Jakarta yang resmi terpilih pada tanggal 20 September 2012, yakni birokrasi yang bernuansa entrepreneur.  

Ia terbukti memiliki catatan baik di dunia. Mendapat penghargaan sebagai salah satu dari calon walikota terbaik di dunia. Merupakan modal berharga sekaligus tantangannya agar ia bisa berhasil menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Bahkan pada bulan September 2013, sempat memuat berita di surat kabar tertentu di luar negeri perihal proses pengelolaan pemerintahan kota hingga memuat foto diri di dalamnya.

Begitulah Joko Widodo. Yang senantiasa memberikan segenap kemampuan terbaiknya bagi kemajuan, perbaikan, dan kesejahteraan masyarakat. Berhasil mencapai tujuan yang telah ia tetapkan sebelumnya, yaitu menjadikan kota Solo sebagai “Kota Karnaval dan Kota Seni Pertunjukan”. Hingga ketika baru beberapa minggu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah menunjukkan sesuatu hal yang baru.

“Seorang pemimpin itu harus punya visi besar, target besar, dan mimpi yang besar, sehingga ia bisa membuat lompatan besar (Quantum Leaps). Baik untuk memimpin kota, organisasi lainnya, atau negara,” kata Joko Widodo. 


Referensi tulisan :
- Majalah Luar Biasa edisi Desember 2011
- Majalah Luar Biasa edisi Desember 2012
- www.google.com

Sumber gambar :
http://www.tempo.co/read/news/2012/11/28/231444652/Ini-Alasan-Jokowi-Tunda-Lagi-Proyek-MRT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar