Joko Widodo lahir di Solo, 21 Juni 1961. Adalah
anak pertama dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan
Sujiatmi.
Pendidikan dari SD sampai SMA dihabiskan di
kota Solo. Kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada (UGM) hingga lulus pada tahun 1985. Setelah lulus kuliah, ia
merantau ke Aceh dan bekerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama 2
tahun. Namun kemudian kembali ke Solo, kota kelahirannya dan memilih bekerja di
perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkayuan. Setelah cukup pengalaman,
pada tahun 1998 ia memutuskan menjadi pengusaha di bidang mebel. Ia memulai
usaha dari minus, bukan dari nol. Pelan-pelan merintisnya, paling tidak
produksi yang telah dihasilkan dapat diekspor. Sampai akhirnya, usahanya maju. Mampu
mengekspor mebel ke beberapa negara Eropa.
Suatu kali seorang pembelinya di Prancis
mengaku kebingungan mengenali nama Joko yang tidak hanya seorang. Untuk
memudahkan mengenalnya, si pembeli itu memanggilnya Jokowi. Inilah asal mula
muncul penamaan Jokowi yang populer pada sekarang ini daripada nama resminya,
Joko Widodo.
Setelah tiga tahun merintis usaha di bidang
mebel, barulah bisa ekspor. Ini merupakan sebuah lompatan besar yang tidak
mudah. Pada saat kegiatan ekspor itu mulai bisa berkembang, tiba-tiba pada
tahun 2005 didorong-dorong untuk mengikuti Pilkada Walikota Solo. Dengan
terpaksa, ia ikut tanpa memasang target dan tanpa semangat. Tapi ternyata, ia
terpilih menjadi Walikota Solo sungguhan. Ia menganggap ini seperti sebuah
kecelakaan. Ia tak percaya semua itu bisa terjadi dan berpihak pada dirinya.
Akan tetapi, ia menyadari bahwa ternyata ia tepat dibutuhkan. Jabatan itu tidak
bisa diuber-uber, karena Yang Di Atas-lah yang menentukan. Semua orang memiliki
waktunya sendiri.
Padahal pada mulanya ia tidak berniat
mencalonkan diri menjadi walikota. Perhatiannya kala itu hanya tersita untuk
urusan usaha mebel. Sampai suatu ketika, ia merasa prihatin atas perkembangan
dan pembangunan kota kelahirannya yang dirasa berhenti di tempat. Ia melihat
kotanya tidak semakin baik, melainkan semakin turun dan tidak baik. Hingga ia
merasa tergelitik bahwa begitu sulitnyakah mengelola kota. Ia tidak terlalu
menyeriusinya, karena merasa tidak terkenal. Tetapi betul-betul sudah terpilih
menjadi orang nomor satu di jajaran pemerintahan kota Solo. Dengan demikian, ia
segera mendiagnosa berbagai penyakit yang membonsai pertumbuhan kotanya.
Hasilnya, ketika di daerah lain para Pedagang
Kaki Lima (PKL) sering dirazia, digusur, bahkan digebuki, di Solo mereka justru
diberi tempat mulia. Kalau kondisi pasar tradisional pada 30 tahun sebelumnya
dalam kondisi seakan dibiarkan merana, kini semuanya diurus habis-habisan.
Masalah kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki jaminan sama
sekali, sebelumnya hanya dapat anggaran 1,4 miliar rupiah, sekarang memperoleh
anggaran hingga 20 miliar rupiah. Akibatnya, seluruh pembiayaan kesehatan bagi
masayarakat tidak mampu, mulai dari cuci darah sampai kemoterapi, semuanya
dijamin oleh pemerintahan kota (pemkot). Warga Solo yang sebelumnya mengurus Kartu
Tanda Penduduk (KTP) selama dua minggu, kini cukup satu jam saja. Masalah
perizinan untuk memulai usaha yang sebelumnya memerlukan waktu 4 hingga 6 bulan,
sekarang bisa kelar hanya dalam waktu enam hari saja.
Berbagai kemajuan itu membuat kota Solo kini
kedatangan banyak tamu. Setiap hari setidaknya ada 4 hingga 6 bus tamu dari
berbagai daerah lain yang datang untuk melihat penanganan pelayanan KTP secara
langsung. Semua bisa terjadi perubahan atau lompatan besar karena adanya visi,
gagasan, serta impian besar.
Padahal aslinya, ia tumbuh dari keluarga
miskin yang tinggal di daerah bantaran kali yang kumuh. Membuatnya tumbuh
menjadi seorang pemimpin yang peka terhadap penderitaan dan berbagai
problematika masyarakat miskin. Terlebih ketika semangat itu berpadu dengan
pengalamannya selama 23 tahun bergelut di bidang ekspor, maka lahir berbagai
kebijakan populis yang tidak hanya membela dan melindungi kepentingan
masyarakat bawah, tetapi juga berhasil menggeser paradigma jajaran pemerintahan
kota yang dipimpinnya secara revolusioner.
Gebrakan demi gebrakan dan berbagai terobosan
ia ciptakan. Mulai dari sering tidak mau mengambil gaji hingga enggan mengganti
mobil dinasnya yang bekas dengan mobil baru. Semakin mengukuhkannya sebagai
manusia langka yang tidak hanya dipuja oleh warganya, tetapi membuat warga
bangsa mulai jatuh cinta kepadanya.
Motif di balik keengganannya mengambil gaji
adalah masih banyak masyarakat yang kesulitan, terutama makan. Meski misalnya
mampu ganti mobil setiap tahun, tetap belum pernah ganti mobil dinas. Untuk apa
bekerja dengan mobil lama yang sebelas tahun ini bisa, harus diganti dengan
mobil yang baru. Apakah dengan mobil yang baru kinerjanya menjadi lebih baik?
Paling dengan mobil baru, akan terlihat lebih gagah sedikit. Tetapi ia memilih
tidak suka gagah-gagahan.
Ia mengira bahwa masalah pertama adalah tidak
adanya leadership (kepepimpinan). Dan
yang kedua adalah masalah di sistem manajemennya. Karena ketika ia hidup di
ekspor selama 23 tahun, ada tiga hal yang tidak boleh tidak dipenuhi. Yaitu,
yang pertama masalah quality
(kualitas). Kedua, masalah price
(harga), artinya harus selalu efisien sehingga harga bisa kompetitif. Ketiga, on time delivery (ketepatan waktu
pengiriman). Ketiga hal ini sangat berpengaruh dalam pengelolaan kepemerintahan
dan pengelolaan sebuah kota, khususnya mempengaruhi kebijakan. Sistem recruitment politik kita belum mampu
menghasilkan kader-kader yang mempunyai leadership
yang baik merupakan pokok problem bangsa kita.
Kemudian pada saat memulai usaha, ia merasa
teman-temannya sudah punya modal yang lebih besar. Mereka sudah menjadi luar
biasa kaya, dua level di atas dirinya. Ia baru mau memulai. Tetapi ia melihat,
dibanding yang lain ia harus memiliki kelebihan. Ia melihat mereka kalau
berangkat kerja jam delapan pagi, pulang jam empat sore. Kala itu ia tidak
punya uang dan modal. Jadi yang bisa ia lakukan adalah berangkat lebih awal
dari mereka. Ia subuh berangkat. Jam setengah enam pagi sudah sampai di tempat
kerja. Pulang jam dua belas malam. Kalau ia tidak punya uang dan modal, tetapi
berangkatnya sama seperti teman-temannya itu, apa yang bisa ditonjolkan? Tidak
ada jawabannya. Jadi kalau mau sukses, kelebihan yang ada diangkat dan
ditonjolkan. Seperti itu. Memang capek. Dipikir waktu ia menjadi walikota juga
sama capeknya. Kadang kerja sampai tengah malam, hingga pagi. Itu biasa. Dari
pagi sampai pagi, itu biasa. Menunggu kontainer sampai jam tiga pagi, jam empat
pagi tidur di pabrik.
Jadi kalau sekarang melihat dirinya jam tujuh
pagi sudah sampai di kelurahan, jam setengah delapan pagi sudah sampai di
kelurahan, dulu lebih dari itu. Sebenarnya maunya jam lima pagi, enam pagi
sampai di kelurahan. Ia datang ke kecamatan-kecamatan empat sampai lima kali.
Orang-orang menyebutnya sidak. Di pinggir kali ada yang berteriak, “Pak hajar,
Pak, hajar.”. Yang dihajar itu apa. Masyarakat itu bilang, di sana pak, di
kelurahan sana sama, pak. Ditangani, disidak saja. Ia mengatakan tidak sidak
kok. Pagi-pagi dirinya ingin jalan. Hanya kebiasaan saja.
Kebiasaan bangun pagi itu terbentuk karena ia
memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Kebiasaan itu terbawa hingga ia
menjadi birokrat, Walikota Solo, dan sekarang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ia
menyebutkan, banyak hal positif yang bisa diterapkan para birokrat (pegawai
negeri sipil) dari sikap para pengusaha. Dan hal itulah yang dilakukannya.
Dengan pola seperti itulah, ia berhasil saat
menjadi Walikota Solo. Dan tampaknya pola seperti itu pula yang akan
diterapkannya saat kini menjadi Gubernur DKI Jakarta yang resmi terpilih pada
tanggal 20 September 2012, yakni birokrasi yang bernuansa entrepreneur.
Ia terbukti memiliki catatan baik di dunia.
Mendapat penghargaan sebagai salah satu dari calon walikota terbaik di dunia. Merupakan
modal berharga sekaligus tantangannya agar ia bisa berhasil menjabat Gubernur
DKI Jakarta periode 2012-2017. Bahkan pada bulan September 2013, sempat memuat
berita di surat kabar tertentu di luar negeri perihal proses pengelolaan
pemerintahan kota hingga memuat foto diri di dalamnya.
Begitulah Joko Widodo. Yang senantiasa
memberikan segenap kemampuan terbaiknya bagi kemajuan, perbaikan, dan kesejahteraan
masyarakat. Berhasil mencapai tujuan yang telah ia tetapkan sebelumnya, yaitu
menjadikan kota Solo sebagai “Kota Karnaval dan Kota Seni Pertunjukan”. Hingga
ketika baru beberapa minggu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah
menunjukkan sesuatu hal yang baru.
“Seorang pemimpin itu harus punya visi besar,
target besar, dan mimpi yang besar, sehingga ia bisa membuat lompatan besar (Quantum Leaps). Baik untuk memimpin
kota, organisasi lainnya, atau negara,” kata Joko Widodo.
Referensi tulisan :
- Majalah Luar Biasa edisi Desember 2011
- Majalah Luar Biasa edisi Desember 2012
- www.google.com
Sumber gambar :
http://www.tempo.co/read/news/2012/11/28/231444652/Ini-Alasan-Jokowi-Tunda-Lagi-Proyek-MRT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar